(06/04/11) Meski pernah
dihadapkan pada situasi yang serba sulit,namun semangat Sukirno untuk meraih
pendidikan tidak padam. Justru ia terpacu bekerja keras untuk membiayai
sekolahnya.
“Saya selalu ingin
sekolah, tidak ada kata lain harus sekolah,” tegas Kirno saat melanjutkan
cerita masa lalunya. Kirno mengisahkan, ia menjejakkan kaki pertama kali di
Palembang malam hari karena menumpang kereta pagi dari Tanjungkarang, Lampung.
Lalu ia menginap di tempat saudara jauhnya untuk sementara waktu. Tidak butuh
waktu lama,akhirnya Kirno mendapat pekerjaan meski hanya sebagai penjual roti.
“Saya bekerja di toko roti Fortuna yang dulu ada di depan Pasar Cinde. Saya
mendorong gerobak roti keliling dan akhirnya mangkal di depan SMA Negeri 3
Palembang,” tutur suami Hj. Ellis Kartina ini.
Awal perubahan nasib
Kirno terjadi saat dirinya bertemu pegawai sekolah menengah olahraga atas
(SMOA) yang terusik dengan kondisi Kirno kala itu.Petugas tata usaha bernama
Nawawi Hubir itu sering melihat Kirno melayani pembeli roti di sekitar halaman
SMAN 3.Lalu Nawawi pun menanyakan waktu berjualan roti. “Waktu itu saya jawab
mulai jualan pukul 15.00 WIB. Mendengar jawaban itu,pak Nawawi lalu menawarkan
saya untuk sekolah sembari kerja,”ucap Kirno sambil menerawang coba
membayangkan masa lalunya dibenak pikirannya. Akhirnya Kirno pun masuk SMOA
pada tahun 1974. Jalan untuk mengenyam pendidikan yang baik dimanfaatkannya sungguh-sungguh.
Bahkan selama sekolah
di SMOA,Kirno tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun. Pasalnya ia selalu
meraih predikat terbaik sehingga mendapatkan beasiswa. Bahkan ia mampu
menamatkan SMOA dengan predikat lulusan terbaik. Prestasi cemerlang yang diraih
Kirno selain karena kemampuannya sendiri juga atas dukungan yang diperolehnya
dari sang kepala sekolah Mazari Mura. Salah satu perhatian Kepsek kepadanya
yang tidak terlupa adalah karena ia sebatang kara merantau ke Palembang, maka
selama sekolah di SMOA ia tinggal di mess yang khusus dibuat oleh sang Kepsek.
“Lulus dari SMOA saya dibebaskan untuk mencari pekerjaan (mengajar) di mana
saya mau. Tapi saat itu saya ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
Akhirnya beliau
(Mazari) memberikan saya uang Rp5.000 untuk pendaftaran dan Rp2.000 untuk
ongkos ke Jakarta untuk saya melanjutkan ke Sekolah Tinggi Olahraga (STO),”ujar
Kirno yang hanya satu tahun kuliah di STO dan bergabung ke IKIP Jakarta
(sekarang Universitas Negeri Jakarta). Setelah menyelesaikan pendidikan di IKIP
Jakarta pada 1982, penggemar tenis lapangan dan jogging ini langsung diminta
pulang ke Palembang untuk mengajar di sekolah guru olahraga (SGO). Namun belum
lama mengajar did sana,pemerintah membubarkan SGO pada tahun 1991. Kirno pun
lalu diarahkan bergabung ke Universitas Sriwijaya (Unsri) menjadi dosen
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Merasa tertantang meningkatkan kemampuannya, maka pada tahun 1998 Kirno melanjutkan kuliah S2 di UNJ.Baru menjalani setahun kuliah S2, Kirno langsung ditransfer oleh dewan dosen ke program S3.Hal itu didasarkan pada penilaian terbaik selama menjalani aktifitas kuliah S2. Seiring itu pula, Pemprov Sumsel yang mencium potensi dirinya memberikan satu posisi di Kabid Banpora sekaligus menjadi bagian dari panitia pengelola PON XVI 2004 Palembang. Oleh karena itu Pemprov Sumsel membantu uang sebesar Rp10 juta untuk menyelesaikan S3. Menyelesaikan S3 pada tahun 2002 maka Sukirno berhak menyandangkan gelar doktor (Dr) di depan namanya.
Merasa tertantang meningkatkan kemampuannya, maka pada tahun 1998 Kirno melanjutkan kuliah S2 di UNJ.Baru menjalani setahun kuliah S2, Kirno langsung ditransfer oleh dewan dosen ke program S3.Hal itu didasarkan pada penilaian terbaik selama menjalani aktifitas kuliah S2. Seiring itu pula, Pemprov Sumsel yang mencium potensi dirinya memberikan satu posisi di Kabid Banpora sekaligus menjadi bagian dari panitia pengelola PON XVI 2004 Palembang. Oleh karena itu Pemprov Sumsel membantu uang sebesar Rp10 juta untuk menyelesaikan S3. Menyelesaikan S3 pada tahun 2002 maka Sukirno berhak menyandangkan gelar doktor (Dr) di depan namanya.
“Pada waktu
pelaksanaan PON Palembang, saya ikut serta dalam kepanitiaan sebagai sekretaris
bidang pertandingan,” tukas Ketua Pelaksana FKIP Unsri kampus Palembang ini.
Usai perhelatan PON 2004, Kirno pun aktif kembali di kampus. Akan tetapi
lagi-lagi PGSD dibubarkan. Sehingga ia pun menjadi dosen Pendidikan Jasmani
(Penjas) di FKIP Unsri mulai tahun 2005. “Saya ini orangnya gak bisa diam.
Kalau kosong sedikit waktu yang digunakan merancang sesuatu yang berkaitan
dengan olahraga.
Salah satu buah
pemikiran saya adalah berdirinya Sekolah Olahraga Negeri Sriwijaya (SONS) pada
tahun 2005.Bahkan saya juga ikut mendirikan S1 olahraga di Universitas PGRI
Palembang. Alhamdulillah saya dipercaya sebagai ketua jurusan di situ,” kata
penulis artikel dan buku ini.
IWAN SETIAWAN – Palembang (Harian Sindo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar