PENENTUAN KADAR KLORIN (Cl2) DALAM CAIRAN PEMUTIH MENGGUNAKAN TITRASI IODOMETRI
MAKALAH
Diajukan Untuk Melengkapi
Tugas Mata Kuliah Kimia Analitik I
Oleh :
VIVIEN ANJADI SUWITO
1005120705
Dosen Pembimbing :
Dra.Rini, S.Si, M.Si
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang tentang “Penentuan Kadar Klorin (Cl2) Dalam Cairan Pemutih Menggunakan Titrasi Iodometri”. Shalawat dan salam tidak lupa kita hadiahkan buat junjungan alam, Nabi Besar kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Kimia Analitik I Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Riau.. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Rini selaku dosen pembimbing mata kuliah Kimia Analitik I. Ucapan terimakasih tidak lupa pula kami sampaikan kepada semua pihak yang telah turut berpartipasi dan memfasilitasi penulis dalam penyusunan makalah ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini tentunya masihlah sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangatlah diharapkan bagi kesempurnaan makalah ini nantinya. Terutama dari Dosen Pembimbing mata kuliah yang bersangkutan.
Wassalamualaikum wr.wb
Pekanbaru, 12 Juli 2011
Vivien Anjadi Suwito
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar……………………………………………………………………..
Daftar Isi..................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
1.1 Latar Belakang..............................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan...........................................................................................
1.3 Rumusan Masalah.........................................................................................
1.4 Metode Penelitian.........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................
2.1 Klorin....................................................................................................
2.2 Bubuk Pemutih...............................................................................................
2.3 Iodometri...............................................................................................
BAB III PEMBAHASAN...................................................................................................
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................
3.1 Kesimpulan...................................................................................................
3.2 Saran.............................................................................................................
Daftar Pustaka..........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemutih pakaian digunakan untuk menghilangkan noda membandel yang menempel pada pakaian. Pemutih yang beredar dipasaran, umumnya mengandung senyawa hipoklorit sebagai bahan aktifnya. Latutan pemutih mengandung senyawa natrium hipoklorit (NaClO) dengan kadar 5,25 % ; sedangkan serbuk pemutih mengandung senyawa kalsium hipoklorit, Ca(ClO)2. Pemutih merupakan bahan kimia yang sangat reaktif. Mencampur bahan pemutih dengan bahan rumah tangga lainnya dapat sangat berbahaya. Misalnya, jika pemutih dicampur dengan pembersih kloset yang mengandung asam klorida dapat menghasilkan gas klorin. Gas klorin dapat merusak saluran pernafasan, dan jika kadarnya cukup besar dapat mematikan. Mencampur pemutih dengan ammonia juga menghasilkan gas beracun, yaitu kloramin (NH2Cl) dan hidrazin (N2H4). Oleh karena itu jangan sekali-kali mencampur pemutih dengan bahan lain tanpa petunjuk atau pengetahuan yang jelas. Penggunaan bahan kimia tidak dapat dihindari karena sebagian bahan kimia sangat menunjang kehidupan kita. Namun, penggunaan bahan kimia secara tidak tepat bisa berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui zat aktif yang terkandung dalam cairan pemutih pakaian (bayclin)
2. Mengetahui bahaya jika cairan pemutih tercampur dengan zat kimia lain.
3. Mengetahui kandungan klor (Cl2) dalam cairan pemutih dengan menggunakan titrasi iodometri.
1.3 Rumusan Masalah
1. Zat atau senyawa apa saja yang terkandung dalam cairan pemutih pakaian?
2. Apa bahaya/efek yang ditimbulkan, jika cairan pemutih pakaian tersebut tercampur dengan bahan kimia yang lain?
3. Bagaimana cara menentukan kandungan klor (Cl2) dalam cairan pemutih pakaian dengan menggunakan titrasi iodometri.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa pada umumnya dan teman-teman dari program studi Pendidikan Kimia pada khususnya untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang salah satu bahan kimia yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yakni cairan pemutih pakaian serta bagaimana cara penentuan kandungan klorin yang terdapat di dalamnya.
BAB II
ISI
2.1 Klorin
Klor (bahasa Yunani: Chloro=hijau pucat) adalah salah satu unsur kimia dengan simbol “Cl”dan mempunyai nomor atom 17. Dalam tabel periodik, unsur ini termasuk kelompok halogen atau golongan VIIA. Dalam bentuk ionya, unsur ini biasanya sebagai pembentuk garam dan senyawa lain yang tersedia di alam dalam jumlah yang sangat berlimpah. Sangat pentingnya unsur ini hampir semua kehidupan mengandung dan membutuhkan unsur ini , termasuk manusia.
Dalam bentuk gas, klorin berwarna kuning kehijauan, dan sangat beracun. Dalam bentuk cair atau padat, klor sering digunakan sebagai oksidan, pemutih, atau desinfektan Kebanyakan klor diproduksi untuk digunakan dalam pembuatan senyawa klorin untuk sanitasi, pemutihan kertas, desinfektan, dan proses tekstil. Lebih jauh lagi, klor digunakan untuk pembuatan klorat, kloroform, karbon tetraklorida, dan ekstrasi brom.
Semua perairan alami mengandung klorida yang kadarnya sangat bervariasi mulai dari beberapa milligram sampai puluhan ribu milligram (air laut). Namun suatu perairan baik itu air tanah, air artesis, danau atau sungai biasanya memiliki kadar klorida yang relatif tetap. Perubahan kadar klorida dalam suatu perairan berhubungan dengan lokasi maupun waktu tertentu yang menunjukkan adanya percampuran dengan perairan lain maupun pencemaran terhadap perairan tersebut. Keberadaa ion Cl- dalam air akan berpengaruh terhadap tingkat keasinan air. Semakin tinggi konsentrasi Cl- , berarti semakin asin air dan semakin rendah kualitasnya.
2.2 Bubuk Pemutih
Bubuk pemutih terdiri dari campuran kalsium hipoklorit dan klorida basa (CaCl2), Ca(OH)2.H2O. Kalsium hipoklorit atau yang biasa disebut kaporit adalah senyawa kimia yang memiliki rumus kimia Ca(OCl)2. Kaporit biasanya digunakan untuk menjernihkan air . Kalsium hipoklorit adalah padatan putih yang siap didekomposisi di dalam air untuk kemudian melepaskan oksigen dan klorin. Senyawa aktifnya adalah hipoklorit yang mempunyai daya untuk memutihkan. Kalsium hipoklorit memiliki aroma klorin yang kuat. Senyawa ini tidak terdapat di lingkungan secara bebas.
Kalsium hipoklorit utamanya digunakan sebagai agen pemutih atau disinfektan. Senyawa ini adalah komponen yang digunakan dalam pemutih komersial, larutan pembersih, dan disinfektan untuk air minum, sistem pemurnian air, dan kolam renang. Ketika berada di udara, kalsium hipoklorit akan terdegradasi oleh sinar matahari dan senyawa-senyawa lain yang terdapat di udara. Di air dan tanah, kalsium hipoklorit berpisah menjadi ion kalsium (Ca2+) dan hipoklorit (ClO-). Ion ini dapat bereaksi dengan substansi-substansi lain yang terdapat di air.
Kalsium hipoklorit tidak terakumulasi di dalam rantai makanan. Jalur pajanan kalsium hipoklorit kepada manusia, yakni pertama, manusia dapat terpajan kalsium hipoklorit dalam level kecil ketika menggunakan disinfektan seperti pemutih rumah tangga. Kedua, manusia bisa terpajan ketika ia berenang di kolam yang menggunakan bahan kimia ini untuk membunuh bakteri. Ketiga, meminum air dari suplai air minum publik yang menggunakan bahan kimia ini untuk membunuh bakteri juga bisa menjadi jalur pajanan. Selain itu, para pekerja yang dipekerjakan di pekerjaan dimana senyawa ini digunakan sebagai pemutih kertas dan tekstil dapat menjadi subyek pajanan kalsium hipoklorit dalam level sedikit lebih tinggi.
Efek toksik dari kalsium hipoklorit utamanya bergantung pada sifat korosif hipoklorit. Jika sejumlah kecil dari pemutih (3-6% hipoklorit) tertelan (ingesti), efeknya adalah iritasi pada sistem gastrointestinal. Jika konsentrasi pemutih yang tertelan lebih besar, misalnya hipoklorit 10% atau lebih, efek yang akan dirasakan adalah iritasi korosif hebat pada mulut, tenggorokan, esofagus, dan lambung dengan pendarahan, perforasi (perlubangan), dan pada akhirnya kematian. Jaringan parut permanen dan penyempitan esofagus dapat muncul pada orang-orang yang dapat bertahan hidup setelah mengalami intoksikasi (mabuk hipoklorit) hebat.
Jika gas klorin yang terlepas dari larutan hipoklorit terhirup (inhalasi), efek yang akan muncul adalah iritasi pada rongga hidung, sakit pada tenggorokan, dan batuk. Kontak dengan larutan hipoklorit kuat dengan kulit akan menyebabkan kulit melepuh, nyeri bakar, dan inflamasi. Kontak mata dengan larutan pemutih konsentrasi rendah menyebabkan iritasi ringan, tetapi tidak permanen. Larutan dengan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan luka mata parah. Pajanan hipoklorit dalam level rendah pada jangka waktu lama dapat menyebabkan iritasi kulit. Belum diketahui apakah pajanan klorin memiliki efek pada kemampuan reproduksi.
Pada Makanan, Food and Drug Administrastion (FDA) menetapkan ambang batas klorin, yang tergambarkan oleh natrium hipoklorit atau kalsium hipoklorit, yaitu tidak boleh melebihi berturut-turut 0.0082 pounds (sama dengan 3.72 gram) dan 0.0036 pounds (sama dengan 1.633 gram) klorin per pounds makanan kering (1 pounds sama dengan 453.59 gram). Dengan kata lain, dalam 100 gram makanan, kadar klorin (yang digambarkan dengan natrium hipoklorit atau kalsium hipoklorit) tidak boleh melebihi berturut-turut 0.82 gram dan 0.36 gram.
Seperti diketahui, hal-hal yang memengaruhi efek pajanan suatu bahan kimia terhadap metabolisme tubuh manusia dipengaruhi oleh dosis, lama pajanan, jalur pajanan, ciri khas dan perilaku manusia, serta keberadaan senyawa kimia lainnya . Disini FDA melakukan perhitungan dengan menggunakan statistik manusia secara umum. Jika kita menggunakan standar ini untuk manusia di Indonesia, mungkin standar ini masih belum aman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antropometri manusia Indonesia dengan manusia Eropa,Amerika, Afrika, atau manusia dari belahan dunia lainnya. Untuk mendapatkan angka yang lebih dapat melindungi kesehatan manusia di Indonesia, maka diperlukan penelitian lebih lanjut.
2.3 Iodometri
Diantara sekian banyak contoh teknik atau cara dalam analisis kuantitatif terdapat dua cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi iodium yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri (digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik ekivalennya). Namun, metode iodimetri ini jarang dilakukan mengingat iodium sendiri merupakan oksidator yang lemah. Sedangkan cara tidak langsung disebut iodometri (oksidator yang dianalisis kemudian direaksikan dengan ion iodida berlebih dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium thiosilfat standar atau asam arsenit) (Bassett, 1994).
Dengan kontrol pada titik akhir titrasi jika kelebihan 1 tetes titran. perubahan warna yang terjadi pada larutan akan semakin jelas dengan penambahan indikator amilum/kanji (Svehla, 1997). Iodium merupakan oksidator lemah. Sebaliknya ion iodida merupakan suatu pereaksi reduksi yang cukup kuat. Dalam proses analitik iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodometrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik.
Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat (Day & Underwood, 1981). Metode titrasi iodometri langsung (iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (iodometri) adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Bassett, 1994). Larutan standar yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah natrium thiosulfat. Garam ini biasanya berbentuk sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi dengan standar primer.
Larutan natrium thiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama sehingga boraks atau natrium seringkali ditambahkan sebagai pengawet. Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat:
I2 + 2S2O32- 2I- + S4O62-
Reaksinya berjalan cepat sampai selesai dan tidak ada reaksi sampingan. Berat ekivalen dari Na2S2O3.5H2O adalah berat molekularnya 248,17 karena satu electron persatu molekul hilang. Jika pH dari larutan diatas 9 tiosulfat teroksidasi secara parsial menjadi sulfat:
4I2 + S2O32- + 5 H2O 8I- + 2SO42- + 10H+
Dalam larutan yang netral atau sedikit alkalin oksidasi menjadi sulfat tidak muncul , terutama jika iodin dipergunakan sebagai titran.
Banyak agen pengoksidasi kuat seperti garam permanganate,garam dikromat dan garam serium (IV) mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat ,namun reaksinya tidak kuantitatif. Dalam standarisasi larutan-larutan tiosulfat sejumlah substansi dapat dipergunakan sebagai standar-standar primer untuk larutan-larutan tiosulfat. Iodin murni adalah standar yang paling jelas namun jarang digunakan karena kesulitan dalam penanganan dan penimbangan yang lebih sering dipergunakan adalah standar yang terbuat dari suatu agen pengoksidasi kuat yang akan membebaskan iodine dari iodide,sebuah iodometrik.
Kalium iodat dan kalium bromat mengoksidasi iodide secara kuantitatif menjadi iodine dalam larutan asam:
IO3- + 5I + 6H+ 3I2 + 3H2O BrO3- + 6I- + 6H+ 3I2 + Br- + 3H2O
Reaksi iodatnya berjalan cukup cepat ,reaksi ini juga hanya membutuhkan sedikit kelebihan ion hydrogen untuk menyelesaikan reaksi. Reaksi bromat berjalan lebih lambat namun kecepatannya dapat ditingkatkan dengan menaikkan konsentrasi ion hydrogen biasanya sejumlah kecil ammonium molibda ditambah sebagai katalis. Kerugian utama dari kedua garam ini sebagai standar primer adalah bahwa berat ekivalen mereka kecil.
Iodium dapat dimurnikan dengan sublimasi ia larut dalam larutan KI harus disimpan pada tempat yang dingin dan gelap . berkurangnya iodium dan akibat penguapan dan oksidsi udara menyebabkan banyak kesalahan dalm analisis dapat distandarisasi dengan Na2S2O3.5H2O yang lebih dahulu distandarisasi dengan senyawa lain.
Biasanya indikator yang digunakan adalah kanji/amilum. Iodida pada konsentrasi < 10-5 M dapat dengan mudah ditekan oleh amilum. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi (Khopkar, 2002). Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri. Iodium juga memberikan warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam dari pada dalam larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Day & Underwood, 1981).
Jika larutan iodium dalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi dengan natrium thiosulfat maka:
I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-
Selama reaksi zat antara S2O32- yang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai:
S2O32- + I3- S2O3I- + 2I-
Yang mana berjalan terus menjadi:
S2O3I- + S2O32- S4O62- +I3-
Reaksi berlangsung baik dibawah pH = 5,0 (Khopkar, 2002). Jika suatu zat pengoksidasi kuat diolah dalam larutan netral atau (lebih biasa) larutan asam, dengan ion iodida yang sangat berlebih, yang terakhir bereaksi sebagai zat prereduksi, dan oksidan akan direduksi secara kuantitatif. Dalam hal-hal yang demikian, sejumlah iod yang ekivalen akan dibebaskan, lalu dititrasi dengan larutan standar suatu zat pereduksi, biasanya natrium thiosulfat (Bassett, 1994).
Potensial reduksi dari zat-zat tertentu naik banyak sekali dengan naiknya konsentrasi ion-hidrogen dari larutan. Inilah halnya dalam sistem-sistem yang mengandung permanganat, dikromat, arsenat, antimonat, borat dan sebagainya yakni, dengan anion-anion yang mengandung oksigen dan karenanya memerlukan hidrogen untuk reduksi lengkap. Banyak anion pengoksidasi yang lemah direduksi lengkap oleh ion iodida, jika potensial reduksi merekanaik banyak sekali karena adanya jumlah besar asam dalam larutan (Bassett, 1994).
Dua sumber sesatan yang penting dalam titrasi yang melibatkan iod adalah: 1. Kehilangan iod yang disebabkan oleh sifat mudah menguapnya yang cukup berarti 2. Larutan iodida yang asam dioksidasi oleh oksigen di udara:
4I- + O2 + 4H+ 2I2 + 2H2O
Reaksi diatas lambat dalam larutan netral tetapi lebih cepat dalam larutan berasam dan dipercepat oleh cahaya matahari. Setelah penambahan kalium iodida pada larutan berasam dari suatu pereaksi oksidasi, larutan harus tidak dibiarkan untuk waktu yang lama berhubungan dengan udara, karena iodium tambahan akan terbentuk oleh reaksi yang terdahulu. Nitrit harus tidak ada, karena akan direduksi oleh ion iodida menjadi nitrogen (II) oksida yang selanjutnya dioksidasi kembali menjadi nitrit oleh oksigen dari udara:
2HNO2 + 2H+ + 2I- 2NO + I2 + 2H2O 4NO + O2 + 2H2O 4HNO2
Kalium iodida harus bebas iodat karena kedua zat ini bereaksi dalam larutan berasam untuk membebaskan iodium:
IO3- + 5I- + 6H+ 3I2 + 3H2O
(Day & Underwood, 1981).
BAB III
PEMBAHASAN
1. ALAT DAN BAHAN
Alat :
1. Labu ukur 100 mL
2. Pipet gondok 10 mL
3. Erlenmeyer
4. 250 mL Pipet tetes Buret
Bahan :
1. Larutan KIO3 sebagai larutan baku
2. Air suling
3. Larutan Na2S2O3
4. Larutan 0,1 N KI 20%
5. HCl 4 N
6. Larutan kanji
7. Larutan H2SO4
8. Amonium molibdat 3%
9. Pemutih (bayclin sebagai aplikasinya)
2. PROSEDUR KERJA
A. Pembuatan Larutan Standar
1. Pembuatan larutan KIO3 sebagai larutan baku, timbang KIO3sebanyak 0,37 gr dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL.
2. Larutkan dengan air suling dan encerkan sampai tanda batas. Kocok dengan baik agar tercampur sempurna.
3. Penentuan (standarisasi) pemutih (bayclin) dengan KIO3. Bilas dan isi buret dengan larutan Na2S2O3 0,1 N.
4. Pipet dengan pipet tetes sebanyak 2 mL, masukkan dalam erlenmeyer dan tambah 75 mL air suling, ditambah 0,3 gr KI, tambah 2 mL H2SO4 1:6 dan tambah 3 tetes ammonium molibdat 3%.
5. Iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai warna menjadi kuning muda, kemudian ditambahkan kanji dan dititrasi terus sampai warna biru hilang.
6. Baca dan catat angka pada buret saat awal dan akhir titrsi, tentukan dan catat volume larutan natrium tiosulfat yang digunakan dalam titrasi.
7. Hitung konsentrasi larutan natium tiosulfaat. Ulangi titrasi sampai 3 kali menggunakan volume larutan natrium tiosulafat yang sama.
8. Hitung konsentrasi lautan natrium tiosulfat rata-rata.
B. Penentuan Kadar Klor dalam
1. Dengan menentukan kadar Cl2 pada pemutih(bayclin)
2. Dengan mengukur berat jenis pemutih (bayclin) diperoleh massa pikno 20 gram dan massa kotor pemutih 75 gram sehingga diperoleh massa pemutih adalah 55 gram dengan volum 50 mL sehingga diperoleh berat jenis pemutih sebesar 1,1 gram/mL.
3. Kemudian dari 50 mL diambil 2 mL dari pemutih (tidak berwarna) dan dimasukkan kedalam erlenmeyer lalu ditambah aquades 75 mL agar tidak terlalu pekat .
4. Kemudian ditambah 0,3 gram KI berupa serbuk putih sehingga dihasilkan larutan berwarna coklat kekuningan .
5. Selanjutnya ditambah lagi dengan 2 mL H2SO4 (tidak berwarna) dengan tujuan untuk menjadikan suasana asam serta ditambahkan juga dengan 3 tetes amonium molibdat 3% (tidak berwarna) sebagai katalis untuk mempercepat reaksi.
6. Dari penambahan-penambahan yang dilakukan ini diperoleh larutan berwarna coklat tua dan terdapat endapan.
7. Kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 tidak berwarna sampai larutan berwarna kuning muda dan endapan menghilang.
8. Setelah menjadi kuning muda larutan ditambah dengan 5 mL larutan kanji tidak berwarna maka larutan berubah warna menjadi ungu kehitaman. Hal ini menunjukkan bahwa didalam larutan terdapat I2 dan larutan kanji ini berfungsi sebagai indicator.
9. Kemudian titrasi dilanjutkan lagi hingga warna ungu kehitaman tepat hilang. Hal ini menunjukkan bahwa didalam larutan tidak terdapat lagi I2 melainkan telah menjadi IÂ- .
10. Percobaan ini dilakukan sampai tiga kali sampai dengan diperoleh data volum Na2S2O3 yang digunakan.
Sebagai contoh perhitungan penentuan kadar klorin dalam cairan pemutih pakaian diatas adalah sebagai berikut :
a) V1 = 16,6 mL
b) V2 = 19,7 mL
c) V3 = 17,7 mL.
Sehingga perhitungannya sebagai berikut:
Cl2 + 2 I- → 2Cl- + I2
I2 + 2 S2O32- → S4O62- + 2I-
v Pada percobaan pertama
Massa Sampel = V x ρ = 2 x 1,1 = 2,2 gram
molek Na2S2O3 = molek Cl2
N. V = molek Cl2
0,146 x 16,6 = molek Cl2
2,4236 x 10-3 = molek Cl2
Sehingga massa Cl2 = molek Cl2 . BE
= 0,0024 x 35,5
= 0,0852 gram.
% Massa Cl2 = Massa Cl2 x 100% Massa sampel
= 0,0852 x 100%. 2,2
= 3,8727 %
= 3,88 %.
v Pada percobaan Kedua
Massa Sampel = V x ρ = 2 mL x 1,1 gram/mL = 2,2 gram
molek Na2S2O3 = molek Cl2
N. V = molek Cl2
0,146 x 19,7 = molek Cl2
2,8762 x 10-3 = molek Cl2
Sehingga massa Cl2 = molek Cl2 . BE
= 0,0029 x 35,5
= 0,1029 gram
% Massa Cl2 = Massa Cl2 X 100% Massa Sampel
= 0,1029 x 100%. 2,2
= 4,6772 %
= 4,68 %
v Pada percobaan Ketiga
Massa Sampel = V x ρ = 2 mL x 1,1 gram/mL = 2,2 gram
molek Na2S2O3 = molek Cl2
N. V = molek Cl2
0,146 x 17,7 = molek Cl2
2,5842 x 10-3 = molek Cl2
Sehingga massa Cl2 = molek Cl2 . BE
= 0,0026 x 35,5
= 0,0923 gram
% Massa Cl2 = Massa Cl2 X 100% . Massa Sampel
= 0,0923 x 100%. 2,2
= 4,1954 %
= 4,19 %
Jadi kadar rata-rata Cl2 dalam sampel pada percobaan ini adalah sekitar 4,25 %.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai normalitas sebagai larutan baku adalah 0,1037 N, sedangkan nilai normalitas larutan Na2S2O3 rata-rata adalah 0,146 N 2. Untuk aplikasi iodometri yaitu penentuan kadar ÂCl2 dalam pemutih (bayclin) diperoleh kadar rata-rata  sebesar 4,25 %.
3.2 Saran
Untuk menentukan titik akhir suatu titrasi harus dilakukan secara cermat dan teliti , kelebihan larutan Na2S2O3 sedikit saja saat titik akhir sudah tercapai akan membuat larutan erlenmeyer tidak berwarna padahal seharusnya berwarna kuning muda dan sebaliknya apabila larutan Na2S2O3 masih kurang maka warna kuning yang diinginkan tidsk sesuai karena warnanya kurang muda(terlalu pekat), sehingga akan berpengaruh terhadap hasil perhitungan untuk menentukan normalitas Na2S2O3. Titik akhir titrasi tidak jauh berbeda dengan titik ekivalennya, namun karena faktor keterbatasan indera penglihatan membuat titik akhir titrasi tidak tepat dengan titik ekivalennya.
DAFTAR PUSTAKA
Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. EGC. Jakarta.
Harjadi, W. 1989. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Erlangga. Jakarta.
Khopkar S. 2002. Konsep Dasar kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Svehla, S. 1985. Buku Ajar Vogel: Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan Semimikro. Jilid I. PT Kalman Media Pusaka. Jakarta.
Underwood, A. L. 1981. Analisis Kimia Kiantitatif Edisi ke Enam. Erlangga. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar